Pasti anak Fakultas Ilmu Komunikasi sangat butuh tentang bahasan sikap dari teori hingga seluk-beluk pengukuran sikap, mungkin bagi anak Fakultas Ilmu Komunikasi ini sekedar buat skripsi tapi bagi seorang marketer ini sesuatu harta karun bagaimana kita bisa mengetahui sikap dan pengukurannya sikap kliennya, Jadi sebaiknya wajib dibeli dan dimiliki.
Sikap berbeda dengan perilaku, Sikap hanya sebatas
kecenderungan bertindak atau bisa
dikatakan merespon terhadap lingkungan setelah ada evaluasi dalam diri,
evaluasi diri terjadi dengan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif,
dan konatif yang saling berinteraksi dengan objek. Secord &Backman (1964),
misalnya, mendefinisikan sikap sebagai ‘keteraturan tertentu dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya’ (Azwar, 2012:5)
Ahli-ahli yang lain mendefinisikan konstrak kognisi,
afeksi, dan konasi sebagai tidak menyatu langsung ke dalam konsepsi mengenai
sikap. Pandangan ini, yang dinamakan tripartite
model yang dikemukakan oleh Rosenberg dan Hovland(1960 dalam Ajzen, 1998),
menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang
pertama dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan
kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai
faktor tunggal jenjang kedua. (Azwar, 2012:7).
Tipe Respon
|
Kategori
Respon
|
||
Kognitif
|
Afektif
|
Konatif
|
|
Verbal
|
Pernyataan keyakinan
mengenai
objek sikap
|
Pernyataan
perasaan terhadap
objek sikap
|
Pernyataan
intensi
perilaku
|
Non Verbal
|
Reaksi
perceptual
terhadap
objek sikap
|
Reaksi
fisiologis
terhadap
objek sikap
|
Perilaku
tampak
sehubungan
dengan objek sikap
|
Respon yang
digunakan untuk penyimpulan sikap
(diadaptasi dari
Rosenberg & Hovland, 1960 dalam Ajzen, 1988)
Konsistensi Sikap – Perilaku
Konsistensi Sikap – Perilaku
Kurt Lewin (1951, dalam Brigham, 1991) merumuskan suatu
model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi
karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), yaitu
B = f(P,E)
Karakteristik individu meliputi berbagai variable seperti
motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu
sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam
menentukkan perilaku. (Azwar, 2012:11).
Sedangkan sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluative.
Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk
reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya disadari oleh proses
evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam
bentuk nilai baik buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang
kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. (Azwar,
2012:15).
Pada intinya sikap dan perilaku tidak selalu memiliki
hubungan yang konsisten bahkan bisa berdiri sendiri atau terpisah. Dalam
kaitannya dengan hasil penelitian yang kontradiktif ini, Warner & DeFleur
(1969, dalam Allen, Guy, & Edgley, 1980) mengemukakan tiga postulat guna
mengindetifikasikan tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan perilaku,
yaitu Postulat Konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk
yang cukup akurat untuk memprediksi apa yang akan dilakukan seseorang bila ia
dihadapkan pada suatu objek sikap.
Postulat variasi Independen mengataakan bahwa tidak ada
alasan untuk menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten.
Sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri
sendiri, terpisah, dan berbeda. Mengetahui sikap tidak berarti dapat
memprediksi perilaku.
Dan yang terakhir Postulat
Konsistensi Tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat
ditentukan oleh faktor-faktor situasioanl tertentu. Norma-norma, peranan,
keanggotaan kelompok, kebudayaan dan lain sebagainya merupakan kondisi
ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku.
Pembentukan
Sikap
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang
yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada
sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota
kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi
di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbale balik
yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota
masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara
individu dengan lingkungan fisik maupun
lingkungan psikologis di sekelilingnya. (Azwar, 2012:30)
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola
sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara
berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:
1.
Pengalaman Pribadi
Apa yang telah
dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi pengahayatan kita
terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya
sikap. Untuk dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.
Apakah pengahayalan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah sikap
negative, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan dengan hal ini.
Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan
suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek
tersebut.
2.
Pegaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Orang lain di
sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut
mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang
kita harapkan persetujuan bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita,
seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus
bagi kita (significant others), akan
banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang
yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang
status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja,
isteri atau suami, dan lain-lain.
3.
Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan
dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi
pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang
mendukung terhadap masaalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Apabila kita
hidup dalam budaya sosial yang sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka
sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan
individualisme yang mengutamakan kepentingan perorangan.
4.
Media Massa
Sebagai sarana
komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, suratkabar,
majalah, dll. Mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan
orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh
informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan member dasar afektif dalam menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5.
Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga
pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam
pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara
sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan
dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6.
Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua
bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi
seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari
oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan
bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang
sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat
pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
Suatu contoh bentuk sikap yang didasari
oleh faktor emosional adalah prasangka (prejudice).
Prasangka didefinisikan sebagai sikap yang tidak toleran. Tidak’fair’, atau tidak favorabel terhadap
sekelompok orang (Harding, Prosbansky Kutner, & Chein, 1969; dalam
Wrightsman & Deaux, 1981).
Teori
Keseimbangan Heider
Teori
keseimbangan (balance theory) yang
dikemukakan oleh Fritz Heider (Mann, 1969; Secord & Backman, 1964; Fishbein
& Ajzen, 1975; Feldman, 1985) merupakan formulasi yang paling awal dan
sederhana dari prinsip konsistensi yang dianut dalam teori organisasi sikap.
Teori ini timbul dari minat Heider pada faktor-faktor yang mempengaruhi
atribusi kausal suatu peristiwa terhadap diri seseorang.
Keadaan keseimbangan atau ketidakseimbangan selalu
melibatkan tiga unsure yaitu Individu (I), Orang lain (O), dan Objek sikap
(Ob). Pengertian keadaan seimbang atau adanya keseimbangan menunjuk kepada
suatu situasi dimana hubungan diantara unsure-unsur yang ada berjalan harmonis
sehingga tidak terdapat tekanan untuk mengubah keadaan.
Apabila
hubungan unsure-unsur berada dalam ketidakseimbangan maka akan timbul suatu
kekuatan yang mendorong pengembalian keseimbangan itu tidak tercapai maka akan
terjadi ketegangan, sedangkan bila perubahan mungkin terjadi maka hal itu dapat
terjadi pada karakter, yaitu I atau O, dan dapat pula terjadi pada fungsi
hubungan diantara unsure-unsur yang bersangkutan.
Dengan
member tanda ‘+’ untuk efek positif (positif
effect ) dan tanda ‘-‘ untuk efek negative (negative effect), maka suatu keseimbangan akan dicapai bila
hubungan diantara ketiga unsure tersebut ditunjukkan oleh tanda +++ atau
ditunjukkan oleh tanda --, yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua diantara
ketiganya adalah negatif.
Sebagai
contoh, bila dua orang berteman (satu tanda + untuk fungsi hubungan antara
unsur I dan O) dan keduanya memiliki sikap yang serupa terhadap rokok (karakter
dinamis I dan Ob sama dengan karakter dinamis O dan Ob, yaitu sama + atau sama
-) maka diperoleh keseimbangan dalam bentuk +++ atau +--. Bila salah-satu
diantarnya kemudian berubah sikap maka terjadi ketidaksamaan tanda hubungan
antara I dan Ob dengan O dan Ob sehingga diperoleh tanda ++- atau +-+ yang
memperlihatkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini menimbulkan ketegangan
yang mendorong terjadinya perubahan arah keseimbangan hubungan diantara ketiga
unsur tersebut. Perubahan yang mungkin terjadi adalah persahabatan mereka putus
(tanda -+- atau --+), mereka akan saling berusaha mempengaruhi agar mitranya
berubah sikap, atau salah-satu diantara mereka akan menyesuaikan sikapnya
sehingga keseimbangan kembali seperti semula.
Contoh
lain yang lebih berkaitan dengan atribusi kausal adalah pelajar yang mengetahui
bahwa sejak kepala sekolahnya diganti maka para siswa tidak lagi diperkenankan
membawa kendaraan bermotor ke sekolah. Dalam model ini, keseimbangan juga akan
terjadi apabila seseorang memilliki sikap yang tidak sama terhadap dua unsur
dan beranggapan bahwa satu unsur tidak disebabkan oleh unsurnya yang lainnya.
Jadi keadaan seimbang tetap terpelihara apabila pelajar tersebut bersikap
positif terhadap kepala sekolah baru (unsur pertama) dan menyetujui larangan
membawa kendaraan bermotor (unsur kedua) atau bila ia tidak menyukai kepala
sekolah yang baru dan tidak setuju terhadap larangan tersebut. Apabila ia suka
pada kepala sekolah yang baru akan tetapi tidak setuju pada peraturan yang
melarang membawa kendaraan bermotor ke sekolah, maka akan terjadilah keadaan
tidak seimbang dalam diri orang yang bersangkutan.
Tampaklah
bahwa dalam teori ini, persepsi orang terhadap bentuk hubungan diantara
unsure-unsur yang terlibat memegang peranan penting dalam membentukan keadaan
keseimbangan yang terjadi. Hubungan diantara unsure-unsur tersebut dapat
dinyatakan dalam bentuk suka (L) dan tidak suka (L) serta bentuk kausal atau sebab-akibat (U) dan bukan sebab-akibat (U).
Dengan
demikian, prinsip keseimbangan Heider dapat dirumuskan sebagai berikut:
Diantara dua unsur, suatu keadaan seimbang
akan terjadi apabila hubungan diantara keduanya adalah positif (atau negatif)
dari semua segi yaitu sesuai dengan semua arti L dan U… Diantara tiga unsur,
suatu keadaan seimbang akan terjadi apabila ketiga hubungan semuanya positif
dari semua segi atau bila dua diantaranya negatif dan satu positif (Heider,
1958 dalam Fishbein & Ajzen, 1975)
Teori
keseimbangan Heider menurut para ahli psikologis sosial memang merupakan awal
yang baik dalam melakukan analisis mengenai konsistensi kognitif dan
implikasinya sangat luas walaupun memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan
itu, antara lain, pertama dalam sifat hubungan unsur-unsur yang hanya
kualitatif (suka-tidak suka) padahal sikap dan kepercayaan memiliki derajat
atau tingkatan yang perlu dikuantifikasikan. Ke dua, teori ini berbicara
mengenai hubungan antar unsur-unsur yang banyaknya terbatas hanya pada tiga
unsur saja. Ke tiga, walaupun Heider mendiskusikan kemungkinan adanya hubungan
ganda diantara dua unsur tapi tidak bicara mengenai tingkat keseimbangan yang
dapat terjadi dalam konfigurasi yang kompleks seperti itu (Fishbein &
Ajzen, 1975)
Keterbatasan
itu tampak pula dalam beberapa kasus penerapannya pada situasi sosial yang
sederhana sekalipun. Sebagai contoh, seorang bapak (I) menyenangi burung (O)
padahal burung menyukai cacing (Ob) maka meskipun bapak tersebut tidak menyukai
cacing (+-+) tidak berarti terjadi ketidakseimbangan dalam hubungan mereka.
Contoh lain, dua orang wanita (I) dan (O) sama mencintai satu pria yang sama
(Ob) maka tidaklah dapat diharapkan terjadinya keseimbangan sebagaimana
dikatakan teori ini karena kedua orang tersebut sangat mungkin akan saling
tidak menyukai.
Persuasi
dan Pengubahan Sikap Manusia
Hampir tak seorangpun yang tidak terkena dampak teknologi
komunikasi. Gaya hidup, selera, nilai-nilai, norma, dan banyak aspek
kepribadian manusia ikut dibentuk oleh TV, radio, majalah, dan pesan-pesan yang
disampaikan lewat berbagai sarana. Setiap hari kita dijejali iklan komersil,
setiap hari disuapi orasi politik, dan setiap hari pula kita kenyang dengan
pesan ideologi . Pada satu sisi, adalah sikap manusia terbentuk dan berubah
oleh dampak modernisasi komunikasi dan pada gilirannya sikap itu sendiri
berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan sosial.
Pemahaman mengenai mekanisme perubahan dan pengubahan sikap
sangat diperlukan karena sebagai manusia kadang-kadang kita berperan sebagai
agen perubahan dan kadang-kadang kita berperan sebagai subjek perubahan. Suatu
waktu mungkin kita yang menginginkan orang lain agar mengubah sikap dan di lain
waktu mungkin kita perlu mempertahankan sikap dari usaha-usaha yang hendak
mengubahnya.
Bagaimana sikap dapat berubah atau diubah, pembahasan
mengenai proses perubahan sikap hampir selalu dipusatkan pada cara-cara
manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan
perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi itu diperoleh
dari pemahaman mengenai organisasi sikap, mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan proses perubahan sikap, terutama yang berkaitan
dengan pembentukan stimulus tertentu untuk menghadirkan respons yang
dikehendaki.
Diantara beberapa teori organisasi sikap yang telah
diuraikan terdahulu, terdapat teori yang telah memberikan uraian pula mengenai
proses mekanisme perubahan sikap. Pada teori Kelman misalnya, ditunjukkan
bagaimana sikap dapat berubah melalui tiga proses yaitu kesediaan,
identifikasi, dan internalisasi. Oleh karena itu, uraian berikut tidak
semata-mata terpusat pada masalah bagaimana organisasi sikap dapat
mempertahankan prinsip konsistensinya atau bagaimana organisasi sikap dapat
berubah sesuai dengan perubahan aspke kognitif ataupun aspke afektif sikap,
akan tetapi lebih ditekankan pada faktor yang dianggap sangat berpengaruh dalam
mengarahkan sikap kepada bentuk yang dikehendaki. Faktor tersebut adalah faktor
eksternal, yaitu faktor yang ada di luar diri individu, yang dengan sengaja
dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap manusia sehingga dengan sadar atau tidak
sadar individu yang bersangkutan akan mengadopsi sikap tertentu. Faktor ini
pada dasarnya berpijak pada suatu proses yang disebut strategi persuasi untuk
mengubah sikap.
Persuasi merupakan usaha pengubahan sikap individu dengan
memasukan ide, pikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan
komunikatif. Pesan yang disampaikan dengan sengaja dimaksdukan untuk
menimbulkan kontradiksi dan inkositensi diantara komponen sikap individu atau
diantara sikap dan perilaku sehingga menganggu kestabilan sikap dan membuka
peluang terjadinya perubahan yang diingikan.
Pendekatan Tradisional
Pendekatana tradisional dalam persuasi pada umumnya
meliputi beberapa unsur, yaitu sumber (source)
sebagai komunikator yang membawa pesan (message-communication)
kepada mereka yang sikapnya hendak diubah (audiecnce),
sehingga dikenal istilah “who says what
to whom and with what effect”. Peran kesemua unsur dalam komunikasi
persuasive ini ditelaah melalui studi dan riset sehingga melahirkan konsep dan
teori mengenai strategi persuasi dalam usaha pengubahan sikap manusia.
Pertama kita akan melihat hasil studi yang dilakukan di
Universitas Yale yang sangat popular dan telah mengilhami studi-studi
berdasarkan pendekatan tradisional pada masa-masa berikutnya.
Model Studi Yale
Hovland dan kawan-kawannya (Fishbein & Ajzen, 1975;
Brehm & Kassin, 1990) meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
komunikasi persuasif. Dalam penelitiannya yang diadakan di Universitas Yale, ia
mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses yang digunakan oleh komunikator
untuk menyampaikan stimuli (yang biasanya dalam bentuk lisan) guna mengubah
perilaku orang lain.
Untuk mempelajari efek sumber komunikasi, yaitu
komunikator, para peneliti tersebut memanipulasi berbagai karakteristik
komunikator seperti sejauh mana ia dapat dipercaya. Keahliannya, status,
popularitasnya, dan lain-lain. Kemudian dipelajari pula berbagai karakteristik
pesan yang disampaikan dengan memanipulasi berbagai aspek tipe komunikasi yang
berlainan. Pada sisi lain riset tersebut meneliti berbagai variable yang ada
pada diri subjek penerima pesan itu seperti kemudahannya disugesti, sikap
mereka sebelum diberi pesan, intelegensi, harga diri, kompleksitas kognitif,
dan berbagai siafat kepribadian lainnya.
Asumsi dasar yang melandasi studi Hovland dan kawan-kawanya
adalah anggapan bahwa efek suatu komunikasi tertentu yang berupa perubahan
sikap akan tergantung pada sejauh mana komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan
diterima.
Langkah ini disajikan
pada gambar
Kemudian, secara lebih
terurai, faktor-faktor utama dalam model yang diusulkan oleh Havland dan
kawan-kawan dilukiskan gambar
Pada ilustrasi gambar
terlihat bahwa perhatian dan pemahaman subjek terhadap komunikasi atau pesan
yang disampaikan akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh subjek mengenai
isi pesan tersebut, sedangkan proses-proses lain dianggap menentukan apakah isi
yang dipelajari itu akan diterima atau diadopsi oleh subjek ataukah tidak.
Kesemua itu kemudian dirangkum dalam suatu model proses
persuasi oleh McGuire (McGuire, 1968 dalam Fishbein & Ajzen, 1975) sebagai
proses yang mencakup dua langkah pokok, yaitu penangkapan isi pesan (reception) dan penerimaan apa yang telah
dipahami (acceptance). Secara
simbolik, model ini ditulis sebagai berikut:
P(O) = p(R) P (Y)
p(O) = probabilitas
terjadinya perubahan pendapat
p(R) = probabilitas adanya pemahaman yang efektif
p(Y) = probabilitas menerima apa yang dipahami
Rumusan di atas menunjukkan bahwa terjadinya perubahan
pendapat atau perubahan sikap merupakan fungsi interaksi antara probalitas
terjadinya pemahaman dan probalitas diterimanya isi yang dipahami oleh
individu.
Selanjutnya, McGuire menambahkan pula bahwa dalam proses
persuasi terdapat dua langkah lanjutan, yaitu retensi atau pengendapan isi yang telah disetujui dan tindakan yang sesuai dengan isi
tersebut. Dengan demikian, persuasi dapat dianggap melibatkan langkah-langkah
perhatian, pemahaman, penerimaan, pengendapan, dan tindakan. Dikatakannya bahwa
penerima pesan haruslah menjalani kesemua langkah tersebut agar komunikasi
menghasilkan dampak persuasif yang optimal. Masing-masing langkah tersebut
dipandang sebagai suatu kemungkinan ukuran adanya perubahan sikap.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa untuk mencapai
tujuan pengubahan sikap, perhatian komunikator hendaklah dipusatkan pada cara
bagaimana yang harus ditempuh agar masing-masing langkah dalam proses persuasi
itu terjadi dalam diri subjek yang hendak diubah sikapnya. Apabila dikembalikan
pada ilustrasinya Hovland, maka tentulah perhatian tersebut harus diarahkan
pada faktor atau variabel yang mempengaruhi proses itu baik faktor sumber,
faktor pesan, maupun faktor subjek penerima.
Robert Baron dan Donn Byrne mengemukakan bahwa hasil riset
mengenai persuasi dengan pendekatan tradisional ternyata kompleks dan tidak
seluruhnya konsisten. Rangkuman adalah sebagai berikut
1.
Para ahli (orang yang kompeten) akan
lebih persuasif dibandingkan dengan orang yang bukan bukan ahli (Hovland &
Weiss, 1951). Suatu pesan persuasif akan lebih efektif apabila kita mengetahui
bahwa penyampai pesan adalah orang yang ahli dalam bidangnya.
2.
Pesan yang ditujukan untuk mengubah
sikap tanpa perantara biasanya lebih berhasil daripada pesan yang tampak jelas
berusaha memanipulasi kita (Walster & Festinger, 1962). Kita cenderung
tidak mau dimanipulasi sehingga kalau kita menyadari ada usaha yang sengaja
hendak mengubah sikap kita, kita akan menolak. Inilah yang menjadi dasar apa
yang disebut sebagai soft sell dalam
dunia bisnis, yang digambarkan dalam beberapa slogan semacam “Kepuasan anda
adalah tujuan utama kami” atau “Atas permintaan masyarakat yang semakin
mendesak, maka hari penjualan dengan diskon akan kami perpanjang”.
3.
Komunikator yang popular dan menarik
akan lebih efektif daripada komunikator yang tidak popular dan tidak menarik
(Kiesler & Kiesler, 1969).
4.
Kadang-kadang manusia lebih mudah terpengaruh
oleh persuasi sewaktu perhatian mereka terpecah oleh kejadian lain daripada
sewaktu mereka menaruh perhatian penuh pada pesan yang disampaikan (Allyn &
Festinger, 1961).
5.
Individu yang memiliki harga diri rendah
akan lebih mudah terbujuk daripada individu yang memiliki harga diri tinggi
(Janis, 1954)
6.
Bila individu yang menjadi sasaran
memiliki sikap yang bertentangan dengan sikap para calon pelaku persuasi maka
akan lebih efektif bagi komunikator untuk melakukan pendekatan dua-sisi (two sided-approach) yang menyajikan
pandangan kedua belah pihak daripada pendekatan satu sisi.
7.
Orang yang berbicara cepat pada umumnya
lebih lebih persuasif daripada orang yang berbicara lambat (Miller et
al.,1976). Temuan ini bertentangan dengan pendapat umum bahwa orang berbicara
cepat kurang dapat dipercaya.
8.
Persuasi dapat diperkaya oleh
pesan-pesan yang membangkitkan emosi yang kuat (khususnya emosi takut) dalam
diri orang, terutama ketika pesannya berisi rekomendasi mengenai bagaimana
perubahan sikap dapat mencegah konsekuensi negeatif dari sikap yang hendak
diubah (Leventhal, Singer & Jones, 1965). Cara ini tampaknya sangat efektif
apabila sikap atau perilaku yang hendak diubah itu ada kaitannya dengan aspek kesehatan
(Robberson & Rogers, 1988).
Pengukuran
Sikap
Salah-satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap
dan perilaku manusia adalah masalah pengungkapan (assessment) atau pengukuran (measurement)
sikap. Oleh karena itu, masalah pengukuran sikap akan mendapat perhatian
khusus dalam pembahasan.
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Educational and Psychological Measurement and Evaluation,
Sax (1980) menunjukkan beberapa karekteristik (dimensi) sikap yaitu arah,
intensitas, keluasan, konsisten, dan spontanitasnya.
Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah
kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak
mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang
sebagai objek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek
sikap berarti memiliki sikap yang arahnya positif sebaliknya mereka yang tidak
setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya
negatif.
Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan
sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda.
Dua orang yang sama tidak sukanya terhadap sesuatu, yaitu sama-sama memiliki
sikap yang berarah negatif belum tentu memiliki sikap negatif yang sama
intensitasnya. Orang pertama mungkin tidak setuju tapi orang kedua dapat saja
sangat tidak setuju. Begitu juga sikap yang positif dapat berbeda kedalamannya
bagi setiap orang, mulai dari agak setuju sampai pada kesetujuan yang ekstrim.
Sikap juga memiliki keluasan, maksudnya kesetujuan atau
ketidak setujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang
sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek
yang ada pada objek sikap. Seseorang dapat mempunyai sikap yang favorabel
terhadap program keluarga berencana secara menyeluruh, yaitu pada semua aspek
dan kegiatan keluarga berencana sedangkan orang lain mungkin mempunyai sikap
positif yang lebih terbatas (sempit) dengan hanya setuju pada aspek-aspek
tertentu saja kegiatan program keluarga berencana tersebut.
Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah
kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap
objek sikap termaksud. Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian sikap
antar waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam diri individu
untuk waktu yang relatif panjang. Sikap yang sangat cepat berubah, yang labil,
tidak dapat bertahan lama dikatakan sebagai sikap yang inkonsisten.
Karakteristik sikap yang terakhir adalah spontanitasnya,
yaitu menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara
spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat
dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih
dahulu agar individu mengemukakannya. Hal ini tampak dari pengamatan terhadap
indikator sikap atau perilaku sewaktu individu berkesempatan untuk mengemukakan
sikapnya. Dalam berbagai bentuk skala sikap yang umumnya harus dijawab dengan
“setuju” atau “tidak setuju”, spontanitas sikap ini pada umumnya tidak dapat terlihat.
Pengukuran dan pemahaman terhadap sikap, idealnya, harus
mencakup kesemua dimensi tersebut di atas. Tentu saja hal itu sangat sulit
untuk dilakukan, bahkan mungkin sekali merupakan hal yag mustahil. Belum ada
atau mungkin tak akan pernah ada instrument pengukuran sikap yang dapat
mengungkapkan kesemua dimensi itu sekaligus. Banyak diantara skala yang
digunakan dalam pengukuran sikap hanya mengungkapkan dimensi arah dan dimensi
intensitas sikap saja, yaitu dengan hanya menunjukkan kecenderungan sikap
positif atau negatif dan memberikan tafsiran mengenai derajat kesetujuan atau
ketidaksetujuan terhadap respon individu.
Usaha pengukuran sikap sendiri dipacu oleh sebuah artikel
yang ditulis oleh Louis Thurstone di tahun 1928 yang berjudul Attitude Can Be Measured dan ternyata
samapai sekarang sudah lebih dari 500 macam metode pengukuran sikap yang muncul
(Fishbein &Ajzen, 1972 dalam Brehm & Kassin, 1990).
Berikut ini adalah uraian mengenai beberapa diantara banyak
metode pengungkapan sikap yang secara historik telah dilakukan orang.
Observasi Perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten
(berulang), misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukankah
kita boleh berkesimpulan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia? Orang lain
yang selalu memakai baju berwarna putih, bukankah memperlihatkan sikapnya
terhadap warna putih?
Oleh karena itu sangat masuk akal tampaknya apabila sikap
ditafsirkan dari bentuk perilaku yang tampak. Dengan kata lain, untuk
mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan
perilakunya, sebab perilaku merupakan salah-satu indikator sikap individu.
Sayangnya, sesuai dengan postulat konsintensi yang telah
diuraikan dalam awal-awal, perilaku ternyata menjadi indikator yang baik bagi
sikap hanya apabila sikap berada dalam posisi ekstrim. Pada umumya konsistensi
tergantung (postulate of contingent
consistency), yang mengatakan bahwa perilaku hanya konsisten dengan sikap
apabila kondisi dan situasi memungkinkan.
Penanyaan Langsung
Asumsi yang mendasari metode penanyaan langsung guna
pengungkapan sikap pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang
paling tahu mengenai dirinya sendiri dan kedua adalah asumsi keterusterangan
bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakan. Oleh karena
itu, dalam metode ini, jawaban yang diberikan oleh mereka yang ditanyai
indikator sikap mereka.
Telaah yang lebih
mendalam dan hasil-hasil penelitian telah meruntuhkan asumsi-asumsi tersebut di
atas (Edwards, 1957). Ternyata orang akan mengemukakan pendapat dan jawaban
yang sebenarnya secara terbuka hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan.
Artinya, apabila situasi dan kondisi memungkinkannya untuk mengatakan hal
sebenarnya tanpa rasa takut terhadap konsekuensi langsung maupun tidak langsung
yang dapat terjadi. Dalam situasi tanpa tekanan dan bebas dari rasa takut,
serta tidak terlihat adanya keuntungan untuk berkata lain, barulah individu
cenderung memberikan jawaban yang sebenarnya sesuai dengan apa yang
dirasakannya.
Pengungkapan Langsung
Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan
langsung (direct assessment) secara
tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan aaitem tunggal maupun
menggunakan aitem ganda (Ajzen, 1988)
Prosedur pengungkapan langsung dengan aitem tunggal sangat
sederhana, Responden diminta menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis
dengan member tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian
responsnya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan
sikap secara lebih jujur bila ia tidak perlu menuliskan nama atau identitasnya.
Problem utama dalam pengukuran dengan aitem tunggal adalah
masalah reliabilitas hasilnya. Sudah sangat dimaklumi oleh para ahli bahwa
secara teoretik maupun empirik, pengukuran yang reliabel memerlukan aitem yang
banyak. Aitem tunggal terlalu terbuka terhadap sumber eror pengukuran. Eror
yang terjadi dapat berkaitan dengan masalah kalimat atau redaksional
pertanyaannya yang mungkin kurang jelas, mungkin dipahami secara salah, mungkin
mengandung istilah teknis yang punya arti khusus,dan mungkin pula mengandung
pengertian sensitif sehingga jawaban yang diinginkan dari individu tidak
menggambarkan jawaban yang seharusnya.
Salah-satu bentuk pengungkapan langsung dengan menggunakan
aitem ganda adalah teknik diferensi semantic (semantic differential). Teknik diferensi semantik (Osgood, Suci,
& Tannenbaum, 1975) dirancang untuk mengungkapan afek atau perasaan yang
berkaitan dengan suatu objek sikap.
Menurut Osgood dua teman-temannya, diantara banyak dimensi
atau faktor yang berkaitan dengan sikap yang paling utama adalah dimensi
evaluasi, dimensi potensi, dan dimensi aktivitas. Dimensi-dimensi ini disajikan
dengan menggunakan sepasang kata sifat yang bertentangan satu sama lain. Contoh
pasangan kata sifat untuk dimensi evaluasi antara lain adalah ‘baik-buruk’,
‘cantik-jelek’, dsb. Yang menekankan nilai kebaikan. Contoh pasangan kata sifat
untuk dimensi potensi antara lain ‘kuat-lemah’, ‘berat-ringan’, Contoh pasangan
kata sifat untuk dimensi aktivitas antara lain adalah ‘cepat-lambat’,
‘aktif-pasif’, dll.
Skala Sikap
Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self-report yang hingga kini dianggap sebagai paling dapat
diandalkan adalah dengan menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus
dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap.
Skala sikap (attitude
scales) berupa kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap.
Dari respons subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan
mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Pada beberapa bentuk skala dapat
pula diungkap mengenai keluasan serta konsistensi sikap. Penyusunan skala sikap
sebagai instrumen pengungkapan sikap individu ataupun sikap kelompok bukanlah
hal yang mudah. Betapa pun besar usaha dan kerja yang dicurahkan dalam
penyusunan skala sikap, tetap saja terdapat celah-celah kelemahan yang
menjadikan skala itu kurang berfungsi sebagaimana mestinya sehingga tujuan
pengungkapan sikap yang diinginkan tidak seluruhnya tercapai.
Salah-satu sifat skala sikap adalah isi pernyataaan yang
dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurannya akan tetapi dapat
pula berupa pernyataan tidak langsung yang tampak kurang jelas tujuan ukurannya
bagi responden. Walaupun responden dapat mengetahui bahwa skala tersebut
bertujuan mengukur sikap namun pernyataan tidak langsung ini biasanya tersamar
dan mempunyai mempunyai sifat proyektif. Respons individu terhadap stimulus
(pernyataan-pernyataan) sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju
itulah yang menjadi indikator sikap seseorang. Respons yang tampak, yang dapat
diamati langsung dari jawaban yang diberikan seseorang, merupakan bukti
satu-satunya yang dapat kita peroleh. Itulah yang menjadi dasar bagi kita untuk
menyimpulkan sikap seseorang atau sikap sekelompok orang.
Meskipun pernyataan sikap (attitude expression) yang diperoleh dari suatu skala sikap merupakan
indikator sikap yang paling dapat diandalkan namun tidaklah berarti bahwa
skala-skala itu selalu dapat dipercaya sepenuhnya dan selalu dapat dengan jitu
mencerminkan sikap yang sesungguhnya. Hal itu disebabkan adanya berbagai faktor
yang menghambat penerjamahan sikap individu yang sebenarnya ke dalam
pernyataan-pernyataan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang maknanya terbatas.
Pengukuran Terselubung
Metode pengukuran terselubung (covert measures) sebenarnya berorientasi kembali ke metode
observasi perilaku yang telah dikemukakan di atas, akan tetapi sebagai objek
pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang didasari atau sengaja dilakukan oleh
seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi lebih di luar kendali
orang yang bersangkutan.
Sampai batas tertentu memang kita dapat menafsirkan
perasaan orang dari pengamatan atas reaksi wajah, dari nada suara, dari gerak
tubuh, dan dari beberapa aspek perilakunya. Gary Wells dan Richard Petty di
tahun 1980 (Brehm & Kassin, 1990) meneliti reaksi para mahasiswa sewaktu
mereka mendengarkan pidato dengan cara merekamnya diam-diam. Ternyata apabila
para mahasiswa itu mendengar pidato dari orang yang sepihak atau sependapat
dengan mereka dalam suatu hal (misalnya pembicara menekankan pentingnya
menambah fasilitas bagi kegiatan mahasiswa) maka para mahasiswa itu tanpa sadar
membuat gerakan kepala vertikal ke atas ke bawah sedangkan apabila mereka
mendengar pembicara lain menyampaikan isi pidato yang berlawanan dengan
perasaan mereka (seperti perlunya menaikkan uang kuliah) maka para mahasiswa
tersebut secara tidak sadar pula membuat gerakan kepala horizontal.
Observasi perilaku eksternal seperti ini tetap harus
diinterpretasikan dengan hati-hati karena masih ada kemungkinan salahnya
kesimpulan yang kita peroleh. Bukankah mengangguk tidak selalu berarti setuju
tapi dapat juga menjadi tanda seseorang sedang mengantuk? Bukankah menggeleng
tidak selalu berarti tidak suka tapi merupakan gerakan mengusir serangga yang
mengganngu atau gerakan mengusir kepenatan leher.
Pernyataan Sikap
Pernyataan sikap (attitude
statements) adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek
sikap yang hendak diungkap
Sebagai contoh, kalau objek sikapnya adalah “Merokok di
dalam Bis” maka segala sesuatu yang dikatakan mengenai perilaku merokok dalam
bis dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya merupakan pernyataan sikap.
Kalimat-kalimat seperti “Merokok dalam
bis merupakan hak azasi setiap orang” (afektif), “asap rokok dalam bis mengganggu kesehatan penumpang lain” (kognitif),
dan “Andaikan saya berwenang saya akan
mengeluarkan peraturan melarang penumpang merokok dalam bis” (konatif),
semua itu merupakan pernyataan sikap terhadap perilaku merokok dalam bis.
Contoh lain, apabila suatu skala dimaksudkan untuk
mengungkapkan sikap terhadap Emansipasi Wanita, maka emansipasi wanita
merupakan objek sikap dan setiap hal yang dikatakan mengenai emansipasi
wanita dan hal-hal yang berkaitan dapat
merupakan pernyataan sikap. Beberapa diantarnya pernyataan sikap dalam contoh
ini adalah “Emansipasi wanita
bertentangan dengan kodrat kewanitaan”, “Setiap wanita berhak mendapat perlakuan
yang sama seperti pria”, dan “Emansipasi
wanita merupakan syarat modernisasi bangsa”.
Pernyataan-pernyataan
sikap seperti di atas apabila ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan yang
benar, setelah melalui prosedur penskalaan (scaling)
dan seleksi item, akan menjadi isi suatu skala sikap.
Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal
yang positif mengenai objek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau
memihak pada objek sikap. Pernyataan seperti ini disebut sebagai pernyataan
yang favorabel. Contoh pernyataan favorabel adalah “Merokok dalam bis merupakan hak azasi setiap orang”.
Kalimatnya ini
jelas mendukung atau memihak pada perilaku merokok di dalam bis karena bila
dilihat dari sudut perilaku merokok sebagai objek sikap, pernyataan ini
mengatakan hal yang positif.
Sebaliknya, pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal
yang negatif mengenai objek sikap, yaitu yang bersifat tidak mendukung ataupun
kontra terhadap terhadap objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan seperti
ini disebut sebagai pernyataan yang tak favorabel. Suatu contoh pernyataan yang
tak favorabel adalah “Emansipasi wanita
bertentangan dengan kodrat kewanitaan”.
Karena
pernyataan ini tidak mendukung bahkan mengatakan hal yang negatif mengenai
emansipasi wanita maka disebut sebagai pernyataan yang tak favorabel ditinjau
dari sudut emansipasi wanita.
Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri
atas pernyataan favorabel dan pernyataan tak favorabel dalam jumlah yang kurang
lebih seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif
atau semua negatif yang dapat mendatangkan kesan seakan-akan isi skala yang
bersangkutan seluruhnya memihak atau sebaliknya seluruhnya tidak memihak objek
sikap. Variasi pernyataan favorabel dan tak favorabel akan membuat responden
memikirkan lebih hati-hati isi pernyataannya sebelum memberikan respons
sehingga stereotype responden dalam menjawab dapat dihindari.
Kaidah-kaidah Penulisan
Pernyataan
Untuk menulis banyak pernyataan sikap, penulisan aitem dapat
memanfaatkan berbagai sumber bacaan dan
referensi, gagasan-gagasan, informasi, hasil pengamatan, dan kreativitasnya
sendiri sepanjang tidak menyimpang dari spesifikasi yang telah dibuat.
Sejalan dengan itu, untuk menulis pernyataan sikap yang
bermutu penyusunan skala harus menuruti suatu kaidah atau pedoman penulisan
pernyataan agar cirri-ciri pernyataan sikap tidak terlupakan dan agar setiap
pernyataan mempunyai kemampuan membedakan antara kelompok responden yang setuju
dengan kelompok responden yang tidak setuju terhadap objek sikap.
Edwards (1957) telah meramu berbagai saran dan petunjuk
dari para ahli menjadi semacam pedoman penulisan pernyataan yang disebutnya
sebagai criteria informal penulisan pernyataan sikap. Kriteria termaksud,
antara lain, adalah sebagai berikut.
1.
Jangan menulis pernyataan yang
membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat kecuali kalau objek sikapnya
berkaitan dengan masa lalu.
Contoh: (Objek
sikap – Politik bebas aktif)
“Pemutusan
hubungan diplomatic dengan Malaysiadi masa Presiden Sukarno merupakan tindakan
yang tepat”
Meminta
responden menjawab mengenai masalah yang telah lama terjadi seringkali tidak
ada relevansi dan kepentingannya dengan sikap masa kini. Apalagi bila disadari
bahwa mengetahui sikap sekarang mengenai hal yang telah berlalu merupakan hal
yang tidak banyak gunanya. Sikap bukan merupakan aspek psikologis yang stabil
untuk waktu yang lama. Interaksi manusia dengan lingkungan di mana ia berada sekarang
sangat potensial untuk mengubah sikapnya terhadap sesuatu. Karena itu,
pengukuran sikap hampir selalu ditujukan untuk mengungkap sikap terhadap objek
psikologis masa sekarang.
2.
Jangan menulis pernyataan yang berupa
fakta atau dapat ditafsirkan sebagai fakta.
Contoh: (Objek
sikap – Program Keluarga Berencana)
“Keluarga
berencana adalah program pemerintahan”
Suatu pernyataan seperti contoh di atas adalah pernyataan
yang berisi fakta atau kenyataan. Lepas dari setuju atau tidak setuju terhadap
Program Keluarga Berencana, setiap orang yang tahu tentu memberikan jawaban
favorabel terhadap pernyataan seperti itu. Dengan demikian apa yang terungkap
bukanlah sikap terhadap sesuatu objek melainkan pengetahuannya mengenai objek tersebut.
Pernyataan yang berisi fakta tidak akan dapat memberikan informasi kepada kita
mengenai bagaimana sikap responden yang sebenarnya.
3.
Jangan menulis pernyataan yang dapat
menimbulkan lebih dari satu
penafsiran.
Contoh: (Objek
sikap – Program Keluarga Berencana)
“Hari libur Keluarga Berencana perlu diadakan”
“Hari libur Keluarga Berencana perlu diadakan”
Pernyataan seperti di atas akan menimbulkan penafsiran yang
berbeda bagi responden. Akibatnya dapat menimbulkan respon yang tidak sejalan
dengan isi pernyataan seperti dimaksudkan
oleh penulis skala. Apa sebenarnya yang dimaksdukan dengan hari libur
keluarga berencana? Apabila yang dimaksudkan adalah hari libur nasional untuk
memperingati keluarga berencana, maka pernyataan itu adalah favorabel dan akan
memancing jawaban “setuju” dari responden yang sikapnya terhadap keluarga
berencana. Akan tetapi, apabila responden menafsirkan hari libur keluarga
berencana sebagai hari libur di mana para peserta program keluarga berencana
boleh melupakan alat kontrasepsi mereka dan meliburkan cara-cara pengaturan
kehamilan, maka pernyataan itu menjadi pernyataan yang tak favorabel.
Akibatnya, responden yang mempunyai sikap positif terhadap kelurga berencanan
tentu akan tidak setuju terhadap pernyataan tersebut.
4.
Jangan menulis pernyataan yang tidak
relevan dengan objek psikologisnya.
Contoh: (Obje
sikap – Universitas Terbuka)
“Daya
tamping universitas yang ada di Indonesia perlu segera ditingakatkan”
Sekilas pernyataan ini berkaitan dengan masalah tidak
tertampungnya sebagian besar calon mahasiswa di perguruan tinggi yang ada, yang
menjadi salah-satu alasan dibukanya program universitas terbuka. Akan tetapi,
beridiri sendiri, pernyataan itu tidak mempunyai kaitan apapun dengan
Universitas Terbuka yang dijadikan objek sikap. Apakah responden menyatakan
setuju atau tidak setuju terhadap isi pernyataan tersebut, tidaklah dapat
dijadikan petunjuk mengenai sikapnya terhadap Universitas Terbuka. Responden
yang mengatakan setuju bahwa daya tampung perguruan tinggi sangat rendah dan
karenanya perlu ditingkatkan, belum tentu akan juga setuju terhadap keberadaan
Universitas Terbuka.
5.
Jangan menulis pernyataan yang sangat
besar kemungkinannya akan disetujui oleh hampir semua orang atau bahkan hampir
tak seorang pun yang akan menyetujui
Contoh:
“Setiap
orang harus memperoleh makanan yang layak”
Pernyataan ini akan hampir dapat dipastikan disetujui oleh
semua orang. Apabila hampir kesemua orang setuju terhadap suatu pernyataan,
maka pernyataan tersebut tidak ada artinya dalam mengungkap sikap.
Contoh:
“Segala bentuk
pelanggaran lalu lintas harus dikena hukuman penjara”.
Pernyataan seperti ini, yang dimaksudkan sebagai pengungkap
sikap terhadap peraturan lalu-lintas, sangat boleh jadi tidak aka nada yang
menyetujuinya. Sekalipun bagi mereka yang mempunyai sikap positif terhadap
hukuman pelanggaran lalu-lintas, tetap akan mempertimbangkan bentuk pelanggaran
lebih dahulu baru dapat menyetujui atau tidak menyetujui diterapkannya hukuman
penjara. Pernyataan demikian ini juga tidak menolong dalam mengukur sikap
manusia.
6. Pilihlah
pernyataan-pernyataan yang diperkirakan akan mencakup keseluruhan liputan skala
afektif yang diinginkan.
Masing-masing pernyataan mempunyai derajat afektif yang
berbeda-beda. Ada pernyataan yang mempunyai derajat afektif yang dalam sehingga
dapat mengungkap intensitas sikap yang dalam pula, ada pernyataan yang
mempunyai derajat afektif yang dangkal sehingga hanya dapat mengungkap
intensitas sikap yang tidak terlalu dalam. Umumnya hal ini dapat dilihat dari
derajat favorabelnya suatu pernyataan.
Untuk skala sikap secara keseluruhan hendaknya terdiri atas
berbagai derajat afektif yang bertingkat sehingga ada pernyataannya yang dapat
mengungkap intensitas sikap yang dalam dan ada pernyataannya yang dibuat hanya
untuk mengungkap intensitas sikap yang sederhana. Dengan demikian, akan
diperoleh liputan derajat afektif yang luas.
7.
Usahakan agar setiap pernyataan ditulis
dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung. Jangan menuliskan pernyataan
dengan menggunakan kalimat-kalimat yang rumit.
8.
Setiap pernyataan hendaknya ditulis
ringkas dengan menghindari kata-kata yang tidak diperlukan dan yang tidak akan
memperjelas isi pernyataan.
9.
Setiap pernyataan harus berisi hanya
satu ide (gagasan yang lengkap).
Contoh:
“Universitas
A adalah universitas yang sistem administrasinya paling baik dan alumninya
paling membanggakan”.
Pernyataan ini merupakan satu contoh pernyataan yang
mengandung dua gagasan pikiran, yaitu kualitas sistem administrasi dam
kebanggaan alumni. Walaupun mungkin keduanya merupakan gagasan yang relevan
guna mengungkap sikap terhadap sistem pendidikan di Universitas A, akan tetapi
dua gagasan yang dimasukkan ke dalam satu pernyataan seperti itu mungkin
mempunyai derajat afeksi yang berbeda tingkatnya. Seseorang mungkin akan
menyatakan sangat setuju mengenai segi kebaikan sistem administrasi universitas
tersebut, namun akan menyatakan ragu-ragu mengenai segi kebanggaan alumninya.
Perbaikan yang dapat dilakukan adalah memisahkan kedua ide tersebut
masing-masing ke dalam pernyataan yang berbeda.
10.
Pernyataan yang berisi unsure universal
seperti “tidak pernah”, “semuanya”. “selalu”, “tak seorangpun”, dan semacamnya,
seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan karenanya sedapat
mungkin hendaklah dihindari.
11.
Kata-kata seperti “hanya”,
“sekedar”,”semata-mata”, dan semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran isi pernyataan.
12.
Jangan menggunakan kata atau istilah
yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para responden.
Contoh:
“Pemberian
hadiah tidak akan mengubah motivasi siswa dalam belajar”.
Tampaknya tidak sukar untuk memahami kalimat dalam
pernyataan seperti ini. Padahal apakah responden akan memahami kalimat tersebut
sebagaimana yang diinginkan oleh penulis atau tidak, banyak tergantung pada
keadaan responden yang akan dikenai skala nantinya. Perhatika kata motivasi di
atas. Sebagian dari kita mungkin memahami maksudnya akan tetapi bagi banyak
orang kata motivasi tidak memberikan gambaran apapun juga karena mungkin memang
mereka tidak mengenalnya dalam percakapan sehari-hari.
13.
Hindarilah pernyataan yang berisi kata
negatif ganda.
Contoh:
“Tidak merencanakan jumlah anak dalam
keluarga bukan tindakan yang terpuji”
Kata “tidak” dan “bukan” dua-duanya adalah kata negatif,
yang dalam banyak hal dapat membingungkan pembaca pernyataan. Kalau memang
dimaksudkan untuk menulis pernyataan yang favorabel bagi keluarga berencana,
kata tidak dan bukan dalam pernyataan di atas dapat dihilangkan sama sekali
tanpa mengubah arti kalimatnya. Bila dirasa perlu dapat disisipkan kata
“adalah” diantara kata keluarga dan kata tindakan.
0 komentar:
Post a Comment