Dibalik maju dan berkembangnya suatu orgnisasi baik
organisasi formal atau informal ada sesosok pemimpin dengan kepimpinannya yang
hebat. Seperti yang diungkapkan oleh Dr, Kartini Kartono dalam bukunya Pemimpin
dan Kepemimpinan tahun 2013, Pemimpin merupakan faktor kritis (crucial factor) yang dapat menentukan
maju-mundurnya atau hidup-matinya suatu usaha dan kegiatan bersama; baik yang
berbentuk organisasi sosial, lembaga pemerintah maupun badan korporasi dan
usaha dagang.
|
Dengan begitu pemimpin itu ada, bila terdapat kelompok atau
satu “organisasi”. Jadi keberadaan pemimpin selalu ada di tengah-tengah
kelompoknya (anak buah, bawahan, rakyat). Dalam barisan perjuangan, pemimpin
harus berjalan paling depan—menjadi ujung tombak—untuk memberikan arah dan
tujuan yang jelas yang ingin dicapai bersama-sama.
Ringkasnya, Pemimpin merupakan inisiator, motivator,
stimulator, dinamisator, dan inovator dalam organisasinya. Sedang kemunculan
dirinya itu pada umumnya terjadi melalui banyak cobaan dan tantangan di tengah
kehidupan. Fungsi pemimpin merupakan kebutuhan yang muncul dari situasi khusus,
misalnya: masa krisis, perang, revolusi, transisi sosial, kondisi ekonomi, dan
lain-lain.
Superiorotas pribadinya itulah yang menjadi unsure kekuatan
dirinya, yang jelas menjadi rangsangan psikososial, dan menerbitkan respons
kolektif dari anak buahnya. Kekuatan sedemikian itu mampu mendominir
lingkunganya; dan sifatnya konsultatif, koordinatif, membimbing sehingga anak
buah menjadi patuh pada dirinya, menghormat, bersikap loyal, dan bersedia bekerja
sama dengan semua anggota.
Pemimpin terbagi dua, yaitu pemimpin formal dan pemimpin
informal. Pemimpin Formal adalah orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu
ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk
memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan
kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi.
Sedangkan Pemimpin Informal ialah, orang yang tidak mendapatkan pengangkatan
formal sebagai pemimpin, namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, dia
mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan
perilaku suatu kelompok.
Selanjutnya Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional,
kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi
para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka menjadi konform dengan
keinginan pemimpin. Tingkah laku kelompok atau organisasi menjadi searah dengan
kemauan dan aspirasi pemimpin oleh pengaruh interpersonal pemimpin terhadap
anak buahnya. Dalam kondisi sedemikian terdapat kesukarelaan atau induksi
pemenuhan-kerelaan bawahan terhadap pemimpin; khususnya dalam usaha mencapai
tujuan bersama, dan pada proses pemecahan masalah-masalah yang harus dihadapi
secar kolektif. Jadi tidak diperlukan pemaksaan, pendesakan, penekanan,
intimidasi, ancaman atau paksaan tertentu.
Tepat pada saatnya.ditengah kelompok itu akan muncul
seorang tokoh sentral sebagai pemimpin, yang memiliki kualitas-kualitas unggul.
Kualitas superior dari pribadi pemimpin tadi sebagian sangat bergantung pada
faktor keturunan, dan merupakan disposisi psikofisik/rohani-jasmani yang
herediter sifatnya, yaitu berupa inteligensi, energy, kekuatan tubuh,
kelenturan mental, dan keteguhan moral. Dan sebagian lagi dipengaruhi oleh
lingkungan sosio-kultural dan kondisi jamannya. Maka pemimpin itu adalah produk
interaksi antara sifat-sifat karakteristik indivual dengan tempaan dan tuntutan
situasi Zamanya (waktu, ruang/tempat, situasi sesaat)
Kekuatan dan keunggulan sifat-sifat pemimpin itu pada
akhirnya merupakan perangsang psikososial yang bisa memunculkan kepatuhan,
loyalitas, kerja sama, dan respek dari para anggota kelompok kepada
pemimpinnya. Maka kualitas superior tadi menjadi modal dasar bagi “kekuatan
sosial” seorang pemimpin untuk mempengaruhi anak buahnya.
Pemimpin juga harus mengenal dengan baik sifat-sifat
pribadi para pengikutnya, dan mampu mengerakkan semua potensi para pengikutnya,
dan mampu menggerakan semua potensi dan tenaga anak buahnya seoptimal mungkin
dalam setiap gerak usahanya, demi suksesnya organisasi. Juga bisa mengembangkan
dan memajukan penganutnya menuju pada progress dan kesejateraan, Dengan begitu
anak buah akan menjadi patuh, dan secara sukarela serta sadar bersedia bekerja
keras menggapai sasaran-sasaran yang sudah ditentukan. Bila perlu bersedia mengorbankan
harta benda, raga, dan nyawa sekalipun demi mencapai kebahiaan bersama.
2.2.1 Rekapitulasi
Tugas-Tugas Pemimpin
Rekapitulasi dari tugas-tugas pemimpin yang bisa dibedakan
dari tugas anggota biasa ialah sebagai berikut:
1.
Dalam perurutan waktu yang relatif menjadi
semakin pendek, kualitas pekerjaan dan tugas pemimpin mengandung banyak sekali
dimensi inovasi (pembaruan, perubahan baru) dan perubahan-perubahan serba
cepat, yang menjadi semakin dipercepat pada zaman modern.
2.
Pemimpin harus mampu menyusun kebijakan
yang bijaksana, dan mampu mengadakan seleksi secara cermat tepat dari banyak
alternatif; jadi memiliki kemampuan penentuan keputusan/decision-making yang tepat.
3.
Jika tugas anggota biasa berkualitas
statis—lebih banyak pasif dan patuh mengikuti --, maka tugas pemimpin sifatnya
dinamis, kreatif,inovatif, unik, lentur, luwes/flexible, dan tidak banyak dibatasi oleh standar serta norma-norma
ketat. Sebab, pemimpin itu setiap saat akan dikonfrontasikan dengan
peristiwa-peristiwa baru yang belum dikenal sebelumnya dan tidak pasti. Dia
juga harus menghadapi masalah-masalah pelik di luar perencanaan umum.
4.
Pemimpin harus bisa menerjemahkan atau
menjabarkan ide-ide, konsep dan policy organisasi
dalam bahasa-aksi, yaitu dalam bentuk perintah, komando dan instruksi-instruksi
yang jelas, sehingga dapat dipahami dan dilaksanakan oleh segenap anggota
kelompoknya.
5.
Pada struktur piramida, pemimpin
tertinggi mempunyai kawibawaan tertinggi, kekuasaan paling besar, dan
pertanggungjawaban paling berat, sekaligus memikul resiko paling besar. Di
tangannyalah terletak nasib hidup dan kesejahteraan seluruh pengikutnya. Namun
sebaliknya, oleh tangan pemimpin pula bisa disebarkan kesengsaraan dan
penderitaan, apabila kekuasaanya dilaksanakan dengan sewenang-wenang; sehingga
dia patut dijuluki dengan “noire bête” atau
“ si bintang hitam” yang buas kejam.
6.
Pemimpin harus sanggup berpikir kreatif,
orisinil, otentik dan futuristic (bisa melihat jauh ke depan). Dia akan banyak
menyandarkan aktivitasnya pada daya imaginasi sendiri, sehingga dia bisa
kreatif.
7.
Di samping memiliki kekuasaan dan
kewibawaan, pemimpin harus mampu membangungkan sikap kooperatif dan
partisipatif pada setiap pengikutnya, agar mereka bersedia memberikan
kontribusi sebesar-besarnya kepada organisasi. Dengan demikian sikap kooperatif
para anggota itu merupakan faktor dependensi/ketergantungan
pemimpin kepada anak buah atau pengikut-pangikutnya sekaligus juga menjadi
tekanan psikologis bagi pemimpin.
Karena itu
fungsi pemimpin adalah unik, yaitu terayun-ayun antara dilemma “kebebasan-kekuatan-kekuasaan” dan “kelemahan-ketergantungannya” kepada
para pengikutnya. Maka seni memimpin mencakup kesanggupan: mampu mencari
keseimbangan di antara dua dimensi yang polair/berlawanan itu.
8.
Oleh kekuasaan dan kewibawaanya,
pemimpin juga berfungsi sebagai juri (wasit) dan hakim bagi segala konvensi dan
“permainan” organisasi. Karena itu dia memiliki tanggung jawab moril/etis yang
lebih besar daripada anggotan biasa, agar dia mampu menjamin proses humanisasi
dan keadilan dalam organisasi.
9.
Seni kepemimpinan juga mencakup
keseimbangan antara pelaksanaan tugas-tugas rutin (kontinuitas dari sistem
kerja yang konvensional) dengan kegiatan-kegiatan inovatif dan kreatif dalam
wujud penerapan sistem kerja baru, perbaikan, dan revisi.
10.
Tugas pemimpin yang paling sulit ialah
pengambilan keputusan (decision making), yang
memungkinkan berlangsungnya semua kerangka kerja secara efektif dan efisien.
Sekaligus juga menyambungkan empat fungsi manajerialnya, yaitu merencanakan,
mengorganisir, menuntun (memimpin, leading), dan menilai atau memberikan
evaluasi.
Dalam kemahiran
pengambilan keputusan tercakup keterampilan mengadakan seleksi, dan mengambil
keputusan yang tepat dari sekian banyak alternatif.
11.
Tugas kepemimpinan merupakan tugas yang
berat, karena dibebani tanggung jawab etis/moril untuk memutuskan satu seleksi
dan keputusan di tengah-tengah macam-macam peristiwa yang tidak pasti, belum
dikenal, dan muncul secara mendadak atau secara tidak terduga-duga.
12.
Sehubungan dengan semua itu, unsur
pertentangan dan oposisi menjadi condito sine-qua non ( persyaratan yang tidak
dapat ditiadakan) dalam masyarakat modern, melalui konflik-konflik
interorganisasi dan antaorganisasi yang harus dapat diselesaikan lewat
manajemen konflik oleh pemimpin.
Selanjutnya, konsepsi mengenai kepemimpinan tidak bisa
dilepaskan dari kemampuan, kewibawaan, dan kekuasaan.
Kemampuan ialah segenap daya, kesanggupan, kekayaan,
kecakapan dan kekuatan yang terdapat pada individu untuk bertingkah laku,
khususnya untuk bertingkah laku sebagai pemimpin.
Kewibawaan berasal dari kata-kata “kawi” dan “bhawa”.
“Kawi’ berarti kuasa, kekuasaan yang lebih baik, kelebihan. Dan “bhawa” ialah
kekuasaan, kekuatan suprahuman, keutamaan, kelebihan, keunggulan.Jadi
kewibawaan (dalam bahasa jawanya “prabawa”, berarti kelebihan, keunggulan
keutamaan, dengan mana seseorang mampu “hambawani” atau mengatur, membawa,
memimpin, dan memerintah orang lain.
Dalam hal ini, pemimpin yang memiliki kewibawaan itu
mempunyai beberapa kelebihan, sehingga dia kuasa membawa orang lain untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Atau dia mampu memberikan
pengaruh-pengaruh kepemimpinannya kepada bawaha/pengikutnya. Karena itu
kawibawaan merupakan kebutuhan/keperluan teknis, karena kewibawaan menimbulkan
kepatuhan normatif pada para pengikut.
Kekuasaan ialah: kekuatan, otoritas, pengaruh untuk
mengatur dan mengarahkan pegikutnya.
Seorang pemimpin, karena status dan tugas-tugasnya
mengepalai satu unit (instansi, kelompok, orgnisasi, dan lain-lain), pasti
mempunyai kekuasaan. Kekuasaan seorang pemimpin ini sumbernya bisa datang dari:
1) Kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang lain;
2) Sifat dan sikapnya yang “unggul”, sehingga
mempunyai kewibawaan terhadap penganut-penganutnya;
3) Memiliki informasi, pengetahuan, dan
pengalaman luas yang lebih banyak kaya-kaya;
4) Pandai bergaul dan berkomunikasi, memiliki
kemahiran human relation yang baik.
Jelaslah kini bahwa seorang pemimpin dengan kepemimpinannya
itu mampu mempengaruhi, mengubah dan mengarahkan tingkah laku bawahan atau
orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Maka untuk menentukan
pesyaratan-persyaratan seseorang menjadi pemimpin, William G. Scoutt
mengemukakan beberapa pendekatan, yaitu:
a) The
“Great Man” approach (pendekatan “Orang Besar”)
b) The trait approach (pendekatan
cirri atau sifat).
c) The modified trait approach (pendekatan
ciri yang sudah diubah)
d) The situasional approach (pendekatan
situasional)
Scott menyatakan, bahwa semua kelompok, baik yang
formal maupun yang informal selalu membutuhkan pelaksanaan fungsi-fungsi
kepemimpinan karena semuanya akan menentukan siapakah pemimpinnya, dan siapa
pula yang akan dipimpin dalam satu gerakan/kegiatan organisasi.
Pendekatan
“orang besar” menyatakan adanya kemampuan yang luar biasa dari seorang
pemimpin, sehingga dengan segenap kualitas unggulnya dia dapat membawa para
pengikut kepada sasaran yang ingin dicapai. Sifat-sifat utamanya antara lain
adalah inteligensi tinggi, kemampuan berkomunikasi, dan kepekaan terhadap iklim
psikis kelompoknya.
Pendekatan
trait atau sifat-sifat, menyatakan
sederetan sifat-sifat unggul, sehingga pemimpin mampu mempengaruhi para
pengikutnya melakukan tugas-tugas tertentu, sesuai dengan prinsip pembagian
tugas (prinsip diferensiasi). Demikian
pula pendekatan “modified trait approach”
menyatakan, bahwa sifat-sifat unggul itu dapat diubah, diganti secara
luwes, atau dibatasi, sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.
Selanjutnya,
pendekatan situasional menyatakan,
bahwa sifat-sifat pribadi pemimpin itu bukan satu-satunya hal yang paling
menentukan derajat dan kualitas pemimpin, melainkan situasi dan lingkunganlah
merupakan faktor penentunya. Maka, mungkin terjadi, bahwa seorang pemimpin yang
efisien pada saat sekarang ini, belum tentu mampu menjabat tugas kepemimpinan
pada saat lain dengan kondisi-kondisi yang berbeda.
Contohnya,
seorang kapten pilot pesawat terbang yang mengalami pendaratan darurat di
daerah rawa-rawa atau daerah hutan belukar, belum tentu mampu menjadi pemimpin
dan petunjuk jalan/pemandu di daerah hutan dan rawa tersebut. Dia akan rela
menyerahkan kepemimpinan “ke luar dari daerah
paya dan hutan” kepada seorang yang terbiasa hidup di daerah sedemikian
itu.
Jadi,
sifat-sifat fungsional kepemimpinan itu erat berkaitan dengan situasinya.
Keadaan darurat dan kondisi lingkungan dapat mendorong seseorang-siapapun juga-
untuk menjadi pemimpin, karena dia mampu melakukan tindakan-tindakan yang tepat
dalam menanggapi tantangan situasinya. Apabila organisasi ada dalam keadaan
kritis menghadapi ancaman bahaya, maka biasanya secara spontan akan muncul
seorang pemimpin yang mampu mengatasi kemelut, yang sehari-harinya justru
berfungsi sebagai anggota biasa. Dalam hal ini ada kepercayaan yang datang dari
luar/lingkungan untuk mengangkat pribadi yang bersangkutan sebagai pemimpin.
Tampaknya
memang ada pendapat-pendapat yang bertentangan antara para situasionis
(penganut faktor situasi yang dominan) dan para penganut traitist (yang dominan
adalah sifat-sifat dari pemimpin), kerena masing-masing akan menekankan
variabel yang diminatinya. Memang sulit untuk memutuskan variabel yang mana
yang lebih dominan, yaitu apakah sifat-sifat dan kemampuan seseorang pemimpin,
ataukah situasi dan keinginan kelompok itulah yang “mencetak” seorang pemimpin.
Keduanya bisa dituntut secara bergantian atau bersamaan.
Jika
penekanan tidak berlangsung pada sifat-sifat seorang pemimpin, dan juga tidak
terdapat penonjolan dan keinginan kelompok, namun ada penekanan pada relasi
akrab antara kemauan kelompok dengan sifat-sifat pribadu pemimpin pada saat
(situasi-kondisi) terntentu, maka pendekatan semacam ini disebut sebagai
pendekatan interaksionis. Sebagai contoh dari peristiwa sedemikian ini di tanah
air ialah peristiwa pada setiap departemen terdapat Inspektorat Jenderal yang
bertugas melaksanakan control intern. Di samping itu, pemerintah punya aparat
khusus untuk mengawasi pelaksanaan anggaran, yaitu Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara, untuk mengawas semua departemen. Juga ada Badan
Pemeriksa Keuangan.
Namun,
oleh banyaknya ketidakberesan administrasi keuangan dan kurang efektifnya
pengawasan, maka perlu dibentuk tim khusus “Operasi Tertib” (OPSTIB), yaitu
dengan diterimanya seorang tokoh pemimpin Laksamana Sudomo, yang didukung oleh
situasi dan semua lapisan masyarakat serta aparat pemerintahan. Dengan harapan
agar administrasi Negara bisa lebih tertib, dan korupsi secara drastic bisa
dikurangi.
Dalam
situasi tersebut, terdapat hubungan antara situasi, yaitu semrawutnya
administrasi aparatur pemerintah di wilayah tanah air yang begitu luas, dengan
harapan pemimpin pemerintahan dan harapan segenap lapisan rakyat, yang
menghendaki tindakan-tindakan tegas dan konkret. Dalam situasi dan kondisi
sosial sedemikian, seorang tokoh pemimpin dengan kemampuan dan kekuasaan khusus
diharapkan dapat mengatasi situasi yang cukup gawat dan ruwet itu.
0 komentar:
Post a Comment